Pada suatu saat, ada sekelompok biksu yang berencana membangun sebuah vihara, berhubung dana awal sudah dihabiskan untuk membeli tanah dan material bangunan, maka biksu-biksu tersebut sudah tidak memiliki dana lagi, sehingga mereka sepakat membangun sendiri vihara tersebut secara gotong royong.
Setelah berbagi tugas, maka mulailah para biksu tersebut membangun vihara tersebut. Tersebutlah seorang biksu yang kebagian mendirikan salah satu bagian tembok vihara. Biksu tersebut bekerja dengan sangat sabar dan memastikan seluruh bata terpasang sempurna. Pada akhirnya biksu tersebut menyelesaikan tembok pertamanya, dan berdiri dibalik tembok tersebut untuk mengagumi hasil karyanya. Saat itulah biksu tersebut melihat adanya kekeliruan dalam menyusun dua buah batu bata, dimana batu bata lainnya tersusun lurus, tetapi dua batu bata tersebut tersusun miring. Biksu tersebut merasa gundah gulana dan berniat untuk merubuhkan tembok tersebut dan membangunnya kembali, tetapi biksu kepala mengatakan bahwa biarkan saja temboknya seperti itu.
Suatu ketika ada seorang pengunjung yang melihat tembok hasil karya biksu tersebut dan terjadilah percakapan berikut :
Pengunjung : "Itu tembok yang indah."
Biksu : "Apa Anda tidak salah lihat, tidakkah anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok ini?"
Pengunjung : "Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 batu bata yang bagus."
Biksu tersebut tertegun, dan sejak saat itu baru mampu melihat batu bata lainnya selain dua batu bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri dan di kanan dari batu bata jelek itu adalah batu bata - batu bata yang bagus dan sempurna.
Banyak orang yang memutuskan hubungan hanya karena semua yang mereka lihat dari pasangan mereka adalah "dua bata jelek". Banyak di antara kita yang menjadi depresi bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah "dua bata jelek".
Semua yang kita lihat sering hanya terfokus pada kekeliruan/kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang sayangnya, kita benar-benar menghancurkan "sebuah tembok yang indah".
Kiriman dari : Antonius Willis - Pekanbaru
( Komisi Humas ESTA Indonesia )
(dikutip dari buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya", Ajahn Brahm.)